JAKARTA, KOMPAS.com -
Wacana pergantian peserta pilkada yang berstatus tersangka terus bergulir.
Terakhir, pemerintah mengusulkan agar aturannya dimuat di dalam peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Hal ini berbeda dengan usulan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak awal menyarankan pemerintah untuk
membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Menurut pakar hukum Universitas Trisakti Abdul
Abdul Fickar Hadjar, bila perhatiannya masalah waktu, maka aturan itu cukup di
PKPU sebagai pelaksanaan dari UU Pemilu khususnya yang menyangkut tata cara
pencalonan. Namun, ia memberikan catatan. "Tetapi biasanya PKPU itu
bersifat tidak permanen karena perubahan dari perkembangan model demokrasi pemilihan
langsung.
Jadi biasanya setiap periode pemilu PKPU
diubah," ujarnya kepada Kompas.com, Jakarta, Kamis (29/3/2018). Baca juga
: Dorong Perppu Pilkada, Ketum Golkar Akan Bertemu Presiden Jokowi Sementara
itu bila ingin lebih permanen, menurut Abdul, Perppu adalah pilihan yang pas.
Sebab, nantinya Perppu akan disahkan DPR menjadi undang-undang.
Soal kegentingan, Abdul menilai bisa saja
pemerintah mengambil jalan lewat Perppu. Situasi penersangkaan peserta pilkada
bukan gejala biasa namun sudah masif sehingga bisa saja dianggap genting.
"Masifitas pentersangkaan Cakada ( calon kepala daerah) oleh KPK bisa
ditafsir sebagai keadaan nemaksa atau darurat," kata dia.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara
sekaligus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai,
wacana pembuatan aturan pergantian peserta pilkada perlu dipertimbangkan dengan
matang. Baca juga : Jimly: Pemerintah Jangan Terlalu Murah Keluarkan Perppu
Bila pilihannya lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu),
maka pemerintah harus melihat faktor kegentingan di dalamnya atau tidak.
"Kalau keadaannya mendesak ya Perppu (lewat) itu.
Tetapi kita jangan terlalu murah dengan Perppu
itu," ujarnya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (28/3/2018). Jimly
mengingatkan pemerintah bahwa dikeluarkannya Perppu hanya untuk kondisi yang
dinilai genting atau darurat.
Namun, menurutnya, pemerintah juga perlu cermat
dan tidak menganggap satu kondisi sebagai kegentingan. Namun, bila pilihannya
melalui peraturan komisi pemilihan umum (PKPU), maka Jimly mengingatkan ada ya
potensi pelanggaran kepada UU Pemilu.
Meski begitu, bukan aturan itu tidak mungkin
ada di PKPU. KPU tutur dia hanya perlu melihat apakah ada kekosongan pengaturan
di UU atau tidak terkait pergantian peserta pilkada. Bila ada, maka menurutnya
KPU bisa mengisi kekosongan itu. Hal ini dinilai akan jauh lebih baik ketimbang
KPU menabrak UU yang ada.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar