JAKARTA, KOMPAS.com -
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi
Anggraini menegaskan, biaya politik tinggi tidak bisa dijadikan alasan untuk
mengubah sistem pemilihan kepala daerah ( pilkada) langsung menjadi pilkada
lewat DPRD. Titi menilai, justru para calon kepala daerah yang sering menjebak
dirinya sendiri dalam ongkos politik yang mahal. "Sekali lagi, biaya
politik tinggi yang menjebak kepala daerah, justru dikeluarkan untuk hal-hal
yang haram dilakukan dalam hukum pilkada," kata Titi dalam keterangan
resminya, Rabu (11/4/2018).
Menurut dia, DPR dan pemerintah akan jauh lebih
produktif jika melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah yang
telah ada.
Pertama, keduanya perlu membangun norma hukum
di dalam Undang-Undang Pilkada untuk menjatuhkan sanksi bagi partai atau calon
yang terlibat dalam mahar politik. "Tidak lagi mesti pemberian uang
selesai dilakukan. Tetapi, bagi partai politik, jika sudah ada permintaan uang
kepada partai politik terkait pencalonan, sanksi tegas sudah bisa
dijatuhkan," kata Titi. Hal yang sama juga akan berlaku bagi calon kepala
daerah.
Menurut Titi, apabila calon menawarkan janji
pemberian tertentu kepada partai politik, maka bisa dikenakan sanksi yang
tegas. Kedua, Perludem meminta DPR dan pemerintah membangun pengaturan belanja
kampanye di dalam Undang-Undang Pilkada. Dengan adanya pembatasan belanja
kampanye, maka akan melengkapi ketentuan pembatasan sumbangan yang ada di dalam
undang-undang sebelumnya. "Ketiga, menguatkan aparatur penegakan hukum
pemilu, untuk lebih tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap
pelanggaran kampanye, khususnya dana kampanye yang tidak jujur, serta penjatuhan
sanksi kepada pelaku politik uang," ujar dia.
Ilustrasi Pilkada (KOMPAS/PRIYOMBODO) Titi juga
menegaskan bahwa perdebatan terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah
langsung atau melalui DPRD adalah diskursus yang sudah tuntas pada 2014 silam.
Pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan perdebatan
tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014. "Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah kembali
diperdebatkan, ini adalah langkah mundur," kata Titi. Ia menganggap
mencuatnya wacana itu justru semakin memperkeruh pelaksanaan demokrasi di
Indonesia. Terkait dengan alasan biaya politik yang tinggi, Titi juga
menganggap alasan tersebut perlu dilihat secara serius, apakah persoalan ini
berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung atau tidak. "Dari
fakta yang terjadi, biaya politik yang tinggi, justru dikeluarkan oleh calon
kepala daerah untuk hal-hal sudah dilarang di dalam UU Pilkada," kata
Titi.
Titi pun mempertanyakan mengapa elite politik
harus mengorbankan kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya
melalui pilkada langsung. "Lalu, ketika biaya politik tinggi itu
disebabkan oleh partai politik, dan perilaku oknum kepala daerah sendiri,
mengapa daulat rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya yang mesti
direnggut?" kata Titi. Perludem melihat pemahaman elite politik atas
wacana ini cenderung tidak tepat. Ia pun khawatir wacana ini bisa berdampak
buruk dan menghasilkan kekeliruan. Titi menyarankan agar DPR dan pemerintah
fokus melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar