Setelah kekhalifahan Utsman bin
Affan, Imam Ali diangkat sebagai Khalifah. Di awal pemerintahannya dia
membersihkan berbagai penyimpangan yang terjadi pada periode sebelumnya.
Muawiyah bin Abu Sufyan adalah
Gubernur Damaskus yang menolak mengikuti penegakkan hukum yang dilakukan Imam
Ali. Damaskus memberontak terhadap kepemimpinan yang syah.
Lalu terjadilah perang Shiffin.
Pasukan Imam Ali berhadapan dengan pasukan pemberontak di bawah pimpinan
Muawiyah.
Ketika dua pasukan berhadapan,
Imam Ali menyerukan kepada pasukannya. "Siapakah diantara kalian yang akan
maju, membawa Alquran ini untuk meneriakkan perdamaian? Serukan pada mereka perdamaian agar
pertumpahan darah tidak terjadi."
Seorang pemuda belia maju,
menyambut perintah sang Imam. Tapi Imam menolak, karena usianya yang masih
terlalu muda. Beliau sekali lagi menyerukan pada pasukannya siapakah yang mau
maju ke barisan musuh untuk menyerukan perdamaian. Agar darah kaum muslimin
tidak tertumpah.
Tapi seluruh pasukan hanya
terpaku. Kembali pemuda belia itu maju, menyongsong perintah pemimpinnya.
Imam Ali menyerahkan Alquran ke
tangan pemuda itu. Memerintahkan dia untuk menghampiri musuh dan meneriakkan
perdamaian.
Pemuda itu memacu kudanya, menghampiri ribuan
musuhnya. Dengan kalimat lantang di angkat Alquran sambil mengajak mereka untuk
mematuhi pemimpin yang syah. Dia berusaha mencegah darah kaum muslimin
tertumpah.
Tapi apa jawab pasukan Muawiyah.
Sabetan pedang memutus tangan pemuda itu. Alquran terjatuh. Lalu dia
mengambilnya dengan tangan kiri, sambil terus meneriakkan kata-kata perdamaian.
Lagi-lagi suaranya yang mulai parau dibalas dengan sabetan pedang. Tangan
kirinya putus.
Dia ambil Alquran dengan giginya.
Sorot matanya masih menyerukan seruan yang sama, mengajak untuk kembali
kepangkuan pemimpin yang syah. Tetiba lehernya putus oleh pedang. Darah
membanjiri padang Shiffin. Darah seorang yang berusaha menegakkan ukhuwah.
Dengan perasaan masygul, Imam Ali
memandang anak muda yang tergeletak. Seorang pemuda yang syahid demi seruan
persatuan.
Perang tidak dapat dihindari.
Kedua pasukan bergegas untuk maju. Suara dentingan pedang dan teriakan
kesakitan menggema. Darah berceceran. Tapi keadilan harus ditegakkan. Siapa
lagi yang akan menegakkan keadilan kalau bukan seorang Ali. Orang yang sejak
kecil diasuh langsung oleh kehangatan rumah Kanjeng Nabi.
Bicara soal keadilan, Imam Ali
mendapat bimbingan langsung dari manusia yang paling adil hidupnya. Dari
manusia yang paling lembut hatinya tetapi juga tegar prinsip hidupnya.
Rasulullah, sepupu, guru dan orang tua angkatnya mengajari soal keadilan
langsung ke dalam hati Ali.Dia mencontohkan dengan sikapnya. Dari sanalah Ali
mendapat bimbingan di bawah Kalam ilahi.
Perang berlangsung sengit.
Pasukan Imam Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Mungkin tinggal sekelebat
lagi Muawiyah dan seluruh pasukannya bisa ditaklukkan.
Tapi, mereka menggunakan trik
licik. Di tengah keterhimpitan, mereka menempelkan lembaran-lembaran Alquran di
ujung pedangnya. Pasukan Imam Ali goyah. Lembaran-lembaran kitab suci itu
merontokan semangatnya. Mereka khawatir melukai kemurnian agama apabila menyerang
musuh yang membawa lembaran Quran di ujung pedangnya.
Sejarah akhirnya mencatat, perang
berakhir dengan diplomasi. Dan sekali lagi, dalam diplomasi itu, utusan Imam
Ali tertipu.
Muawiyah dan pasukannya
menggunakan tulisan-tulisan dalam Alquran untuk menipu. Untuk mencari
keuntungan politis semata. Untuk mengelabui musuhnya.
Kelakukan Muawiyah kini ditiru
oleh pengikutnya sekarang. ISIS, Alqaedah dan HTI menggunakan kalimat tauhid
pada benderanya. Mereka seolah berlindung pada kalimat suci itu. Padahal saban
hari kerja mereka membuat kerusakan. Mereka merampas hak manusia, membunuh,
bermaksud menegakkan khilafah dengan tipu muslihat.
Ketika Anggota Banser membakar
bendera HTI yang memang sudah diharamkan keberadaanya, komplotan bengis itu
mulai memainkan sandiwara bahwa Banser membakar kalimat tauhid. Sama persis
seperti pasukan Muawiyah yang menempelkan lembaran Alquran di ujung pedangnya.
Sejarah memang berulang. Antek-antek
Muawiyah, anak dari Hindun -seorang
perempuan yang mengunyah jantung pahlawan Uhud, Hamzah- jaman ini, menggunakan
emosi umat Islam untuk menyerang Banser. Padahal yang dibakar Banser adalah
bendera HTI. Bendera organisasi terlarang setara PKI.
Tapi mereka memang lahir dari
kelicikan. Mereka memainkan emosi umat Islam. Mengadu domba dengan manipulasi
kalimat tauhid. Sayangnya sebagian umat Islam Indonesia yang bodoh dan buta
sejarah banyak yang terpercaya oleh musang berbulu angsa ini. Padahal setiap
hari kerja HTI hanya ingin menghancurkan Indonesia untuk diganti dengan
khilafah.
Sejarah sudah dengan jelas
menggambarkan kelicikan mereka. Kini secara terang-terangan kelicikan itu
ditampilkan di depan kita.
Merekalah para pengikut Abu
Sufyan. Merekalah pengikut Muawiyah. Merekalah pengikut Yazid. Keluarga yang
sepanjang hidupnya membenci Nabi dan keluarganya.
Apakah kita akan tertipu lagi,
ketika Banser membakar bendera HTI? Tidak.
Umat Islam Indonesia dan para
santri dalam barisan. Banser menghargai kalimat tauhid. Tetapi juga bukan umat
yang mudah ditipu oleh bendera dan simbol-simbol. Kalimat tauhid berada dalam
dalam sanubari Banser. Bukan di atas lembaran bendera yang justru jadi lambang
untuk menghancurkan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar